Rabu, 22 Oktober 2008

Sajak Emha

Sajak Emha Ainun Nadjib

Bila sebuah batu tergeletak dijalan

Dan ia membahayakan pemakai jalan

Anda memungutnya, dan mencari seseorang untuk membahas

Apa yang dapat kita perbuat agar batu tersebut bermanfaat.

Itulah Islam

Islam adalah

untuk menjaga kesuburan tiap sudut tanah

Untuk mengagumi gunung dan laut yang luas,

Atau sekedar untuk menyiram tanaman,

Untuk berenang dalam air sambil bersyukur kepada Allah

Atau untuk menghirup udara dengan kerinduan untuk bertemu dengan Allah

Islam adalah,

Bila ada satu mahkluk sedang kelaparan

Walau ia hanya seekor anjing

Anda merasa tidak enak karena kenyang seorang diri

Maka Anda lalu belajar untuk merasakan lapar,

Sebelum anda merasa layak disebut sebagai saudara oleh orang-orang lapar

Islam adalah,

Ketika seseorang merasa haus

Bahkan bila ia adalah orang yang akan membunuh anda

Anda merasakan kehausannya

Dan berbagi air anda dengannya

Islam adalah,

Ketika anda melihat seseorang dipinggirkan dan merasa sendirian

Anda menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya

Islam adalah,

Mencintai bahkan orang-orang yang membenci anda

Dan memuji dengan bijak

Seseorang yang menganggap anda sebagai musuhnya

Islam adalah,

Komunitas yang berdamai dengan alam,

Sungai dan hutan, air dan daratan, gunung dan lautan

Yang mereka cintai seolah-olah istri-istri mereka sendiri

Menjaga kesuburannya semata-mata dengan cinta

Islam adalah,

Sebuah pemerintah yang menganggap rakyatnya sebagai seorang isteri,

Saling menyayangi, bekerjasama

dengan keseimbangan kekuasaan antara yang satu dengan yang lain,

Islam adalah,

Keadaan dimana si kuat memahami pentingnya si lemah

Dan si lemah tidak menikmati kelemahan dan ketergantungannya.

Salam berarti perdamaian

Islam berarti upaya mencari, membangun dan menciptakan perdamaian

Humanitas Islam berarti pengertian untuk saling memanusiakan satu sama lain

Budaya Islam adalah kedamaian fikiran dan hati

Perekonomian Islam berarti tak seorangpun kekurangan gizi dan tak seorangpun kelebihan gizi.

Politik Islam berarti demokrasi sejati dan jujur

Filosofi Islam adalah kesimbangan antara hak-hak azasi dan kewajiban-kewajiban azasi manusia

Salam berarti perdamaian

Islam berarti pembebasan menuju perdamaian

Islam berarti kerja emansipasi menuju kehidupan yang penuh kedamaian bagi semua manusia.

(Karya Emha Ainun Nadjib)

Sabtu, 30 Agustus 2008

Pantun Bersahut Urang Diri

(Dimuat Harian Sumatera Ekspres 31-08-2008)

Incang-Incang:

Pantun Bersahut Urang Diri

Oleh Vebri Al Lintani


Sumatera Selatan menyimpan kekayaan seni budaya lokal yang beragam, meski pun menujukkan kecirian yang sama dengan daerah lain tetapi tetap memiliki ke istimewaan, paling tidak dari sisi bahasa yang dipakai dan irama atau tembang cara menyampaikan sastra tutur tersebut. Dari puluhan suku yang berada di Sumatera Selatan, satu diantaranya adalah Pedamaran yang merupakan bagian dari suku Danau dan menggunakan bahasa Penesak di wilayah kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Suku Danau merupakan salah satu suku selain suku Kayuagung, suku Bengkulah, suku Pegagan Ulu Suku I, suku Danau Teloko, suku Sirah Pulau Padang, suku Jejawi, suku Pampangan, suku Keman, suku Pangkalanlampan, dan suku Tulungselapan.

Sebagai bagian dari rumpun Melayu, orang Pedamaran juga menggunakan pantun sebagai media menyampaikan isi hati. Pantun di Pedamaran disebut incang-incang dan rendai. Dari sisi bentuk kedua bentuk incang-incang dan rendai tidak ada bedanya dengan pantun, terdiri dari empat baris dalam satu bait, bersajak a-b, a-b, dua baris awal berupa sampiran sedangkan dua baris terakhir merupakan isi. Tetapi adakalanya, dalam satu bait incang-incang merupakan isi semua hanya aturan rimanya tetap sama dengan pantun. Incang-incang seringkali diawali dengan kata incang-incang, misalnya: incang-incang pelanduk/pelanduk bawah rebo/malam-malam tak tiduk/mikirkah tudung gulo (incang-incang peladuk/pelanduk di bawa rebo (tumpukan sampah kayu di sungai/malam-mlam tak tidur/mikirkan tudung gula (tutup stoples gula).

Ditinjau dari jenisnya, menurut penutur Demsi, seorang penutur sastra tutur pedamaran yang sudah berusia lanjut, incang-incang dibagi 3 jenis, yakni: incang-incang pergaulan, incang-incang nyeding sukat (nasib malang), dan incang-incang tentang kehidupan dan keagamaan. Sedangkan rendai digunakan secara khusus oleh bujang gadis untuk saling sindir pada malam-malam menjelang hari perkawinan, misalnya pada acara ramah tamah atau acara ningkuk dan acara membuat dekorasi di rumah orang yang punya hajat.

Incang-incang pergaulan digunakan oleh muda-mudi atau bujang gadis untuk menyampaikan isi hatinya. Biasanya dipakai jika ada keramaian pesta pernikahan atau hajatan lain ketika berkumpulnya bujang dan gadis. Incang-incang kehidupan dan incang-incang agama ditampilkan dalam acara-acara keagamaan atau diceritakan dalam acara-acara yang terbatas. Sesuai dengan jenisnya incang-incang berguna untuk menyampaikan isi hati, nasihat moral, dan pesan keagamaan.

Penyampaian incang-incang dengan cara dinyanyikan dengan irama tertentu. Bersahut-sahutan antara dua orang atau lebih. Jika incang-incang pergaulan antara bujang gadis, incang-incang keagamaan antara orang tua dengan anak, dan antara dua orang atau lebih pada karakter lainnya.

Penguatan Incang-incang

Sebagai bentuk seni budaya lokal yang menyimpan kearifan, incang-incang dan rendai haruslah mendapat perhatian. Apalagi penggunaan incang-incang dan rendai sudah ditinggalkan oleh masyarakat Pedamaran. Padahal jika dibanding dengan senjang yang masih hidup dan sangat populer di masyarakat Musi Banyu Asin, khusus incang-incang memiliki fungsi dan kekuatan yang sama. Jika senjang disampaikan dengan irama yang menarik, incang-incang pun memiliki irama yang menarik.

Kelebihan senjang dibanding incang-incang adalah iringan musiknya; jika senjang diiringi musik, maka incang-incang tidak. Tetapi untuk kepentingan seni pertunjukan, tidak ada salahnya jika incang-incang diiringi juga dengan musik dan tarian seperti senjang sehingga menarik didengar dan ditonton. Seniman-seniman di Sumatera Selatan, khususnya seniman Pedamaran dapat saja berkreativitas dengan incang-incang.

Irama penuturan incang-incang mudah dipelajari dan saya yakin akan cepat akrab di telinga orang muda. Corak iramanya mirip dengan irama lagu Kaos Lampu yang berasal dari Ogan. Lagu Kaos Lampu sudah dikenal banyak oleh masyarakat Sumsel.

Seperti halnya senjang, incang-incang juga terkadang menampilkan sindiran-sindiran yang jenaka, sehingga dapat digunakan sebagai media komunikasi yang bersifat mendidik (edukatif), pesan-pesan ekonomi, pesan-pesan sosial, dan bahkan pesan politik.

Pembinaan-pembinaan dengan pembentukan sanggar-sanggar seni tradisional atau melalui pendidikan di sekolah menjadi penting dalam rangka pelestarian bentuk-bentuk seni budaya seperti incang-incang dan rendai. Selain itu, kegiatan-kegiatan lomba dan pergelaran-pergelaran seni budaya tradisional juga menjadi bagian yang perlu diagendakan secara maksimal dan terkonsentrasi oleh pemerintah daerah OKI dan pemerintah provinsi Sumatera Selatan. Efek lain dari perhatian terhadap pelestarian seni budaya lokal tentu saja sangat menunjang program wisata dengan label visit musi 2008.

Belajar membuat incang-incang berarti belajar membuat pantun. Jika seseorang terlatih membuat pantun tentu akan mendapatkan banyak manfaat, yakni: pertama akan terlatih berpikir sistematis, karena pantun merupakan kata-kata yang tersusun dan tersturuktur, kedua akan terlatih berpikir indah, karena pantun terdiri dari kalimat-kalimat yang indah, ketiga, akan terlatih berpikir rasional, karena pantun terdiri dari paduan kata yang harus berhubungan satu sama lain, keempat akan terlatih berpikir sublimatif karena untuk menyusun kata yang bermakna seseorang haruslah merenung secara dalam. Dihadapkan dengan situasi serangan budaya materialisme yang kian mendesak saat ini, kearifan lokal seperti hasil-hasil karya sastra tutur semacam ini tentu dapat dijadikan alternatif pendidikan spiritual.

Akhirnya, saya akan menutup tulisan ini dengan cuplikan syair incang-incang nyeding sukat

Incang-incang ke ladang

Ke ladang bungo padi

Nasib bagian kurang

Caro bak aku ini

Bepinto pado Tuhan

Caro bak aku kini

Dari siko kehadapan

Minta ado rezeki

Mencaro di belakang

Butuh sesuap nasi

Meskinyolah tak makan

Tak naro urang nak meri

Palembang, 12 Agustus 2008



Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9

(KOBAR 9)


Pengarang Perempuan dan Lokalitas

(Dimuat Harian Sumatera Ekspres 10-8-2008)

Pengarang Perempuan dan Lokalitas

Oleh Anwar Putra Bayu

Sebuah kenyataan yang harus diterima oleh jagad sastra, khususnya dunia pengarang di Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk lebih kurang 6.518.791 jiwa (data tahun 2003) yang mendiami 11 kabupaten dan 4 kotamadya, maka sedikit sekali bahkan dapat dihitung dengan jari tangan adanya pengarang berjenis kelamin perempuan.

Bila dicermati beberapa buku yang memuat tentang data atau biografi pengarang Indonesia, Buku Direktori Penulis Indonesia (Depdikbud 1997) misalnya, maka hanya tercatat nama seorang perempuan kelahiran Bangka, yakni Hamidah. Selebihnya pengarang dari Sumatera Selatan tercatat nama-nama seperti A. Bastari Asnin (Muara Dua, Komering), Alex Leo (Lahat), Bur Rasuanto (Palembang), Koko Bae atau Surya Gunawan (Palembang), Nurhayat Arief Permana (Palembang), Sobron Aidit (Belitung), Syamsu Indra Usman (lahat), T. Wijaya (Palembang), dan Wahab Manan (Palembang). Ini menunjukan bahwa dunia kepengarangan lebih banyak didominasi kaum lelaki.

Selain itu, sebagaimana nama-nama tersebut di atas, maka nama seperti B. Yass yang kelahiran Huta Padang, Kisaran (Sumatera Utara) juga merupakan sosok pengarang/sastrawan Sumatera Selatan yang tak kalah pentingnya memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra modern Indonesia. Di masa hidupnya B. Yass banyak menyebarluaskan karya-karyanya berupa cerita pendek, novel, dan sastra lakon ke beberapa media cetak terbitan pusat dan daerah.

Setelah Hamidah meninggal pada 8 Mei 1953, tidak ditemukan lagi pengarang perempuan selama lebih kurang 37 tahun yang khusus memberi kontribusi terhadap denyut sastra di Sumatera Selatan. Barulah memasuki era 1990-an nama-nama seperti Hesma Eryani, Emedi Serry dan Ine Somad muncul. Kehadiran mereka mewarnai jagad sastra Sumatera Selatan melalui karya puisi mereka yang diterbitkan media cetak lokal.

Ine Somad misalnya, bersama lima penyair laki-laki (Antonarasoma, Dimas Agus Pelaz, Mulyadi J Malik, Nurhayat Arief Permana, S.N. Al-Sjajidi, dan Sumarman) adalah satu-satunya perempuan yang terlibat dalam Kumpulan Puisi Profetik Ghirah, yang diterbitkan oleh Sriwijaya Media Utama pada tahun 1992. Nama Ine Somad, Hesma Heryani, dan Emedi Seri belakangan ini, terutama sejak akhir tahun 1999 praktis tak terdengar lagi, apalagi setelah mereka menikah barangkali urusan domestik tampak lebih jadi penting. Meskipun menurut saya ini bukan satu-satunya alasan kemudian menghilang.

Membaca perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, maka tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan pertumbuhan dan perkembangan sastra sebelumnya. Menurut B. Trisman dalam buku Biografi Pengarang Sumatera Selatan (2004) mengungkapkan bahwa kehidupan dunia kesasteraan modern dan keaktifan pengarang/sastrawan Sumatera Selatan dalam melahirkan karya-karya mereka sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan. Hal itu, tulis Trisman, setidak-tidaknya dapat ditandai dan ditelusuri melalui sistem penerbitan di Sumatera Selatan.

Dalam tulisan ini, saya belum dapat melacak hingga awal abad ke 19 mengenai kehidupan sastra, ketika di masa itu sudah ada surat kabar (Soeloeh Sriwijaya) yang terbit di Palembang. Mungkin untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentu akan membutuhkan waktu panjang agar bisa menggali data atau informasi yang berkaitan dengan denyut nadi sastra di Sumatera Selatan. Akan tetapi, paling tidak perkembangan informasi tentang kehidupan sastra sejak tahun 1970-an hingga 2000-an ini setidaknya dapat memberi gambaran.

Di masa tahun 1970-an, beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera Selatan ada semacam dimulainya semangat baru ketika memasuki babak baru peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru dimana kehidupan kesenian mulai “disehatkan” kembali sejalan dengan kemurniannya. Betapa tidak, semasa Partai Komunis Indonesia (PKI) berkuasa dan mendapat tempat di tahun 1960-an, maka ketika itu kesenian harus dibelokkan menjadi alat kepentingan partai, sastra termasuk di dalamnya, baik sastra tulis maupun sastra lisan.

Semangat baru itu ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan sastra yang diselenggarakan berbagai institusi. Geliat sastra yang terjadi di beberapa daerah itu ternyata untuk beberapa daerah di Sumatera Selatan tidak terlalu banyak melakukan aktivitas bersastra seperti diskusi, seminar, pembacaan karya sastra, dan penerbitan buku.

Pengecualian di kota Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, suasana bersastra terutama pembacaan puisi atau pentas drama memang ada sedikit gaungnya. Ini tentunya disebabkan minimnya ruang berekspresi, sehingga sulit untuk mendorong perkembangan atau pertumbuhan sastra itu sendiri. Pada masa itu Palembang boleh dibilang minim soal media cetak (surat kabar atau majalah), sehingga tidak ada saluran kreatif bagi penulis puisi dan cerita pendek. Jalan satu-satunya adalah mengirimkan karya sastra ke daerah lain seperti Jakarta, Medan, dan Padang

Keterbatasan itu tidak menjadi beberapa penggiat sastra lalu menyerah. Koko Bae (Surya Darmawan) misalnya, dalam usia yang masih muda saat itu berupaya melahirkan antologi puisi mandirinya Gado-gado Kocak Koko Bae yang diterbitkan pada tahun 1976 di Palembang. Menurut hemat saya, bahwa antologi Koko Bae itu merupakan buku puisi tunggal yang pertama mengisi tahun 1970-an. Menyusul sembilan tahun kemudian barulah puisi-puisi Zainal Abidin Hanif mengisi Kumpulan Puisi Penyair se-Sumatera yang diterbitkan di Medan, Sumatera Utara. Setidaknya, tahun 1970-an itu ada denyut sastra di Sumatera Selatan.

Kemunculan kedua penyair itu, Koko Bae dan Zainal Abidin Hanif, tentu sangat berbeda latar belakangnya. Koko Bae muncul dari arus bawah, sedangkan Zainal Abidin Hanif muncul dari arus menengah dari lingkungan birokrat. Meminjam istilah B. Yass, tahun-tahun itu ada istilah seniman/sastrawan bilsuit. Dengan kata lain, seniman atau sastrawan bilsuit ruang geraknya didukung penunjukkan atau “di SK kan”.

Antara Koko Bae dan Zainal Abidin Hanif memang berbeda terutama dalam sikap berkesenian/bersastra. Dalam puisi misalnya, kedua penyair itu memiliki visi serta ideologi yang berbeda. Dari segi tema Koko Bae lebih cenderung ke warna protes sosial, sedangkan Zainal Abidin Hanif lebih menonjol kepada warna ketuhanan.

Tidak berhenti pada penerbitan antologi itu saja, Koko Bae pun mulai mengenalkan tradisi baca puisi di Palembang. Dia membacakan karyanya di depan publik. Apa yang dilakukan oleh Koko Bae tak lain untuk mengimbangi tradisi baca puisi (audio) di RRI melalui Sanggar Sastra yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif. Acara baca puisi yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif itu memang sangat disukai masyarakat pendengar di Sumatera Selatan. Apa yang dilakukan oleh kedua penyair pada waktu itu merupakan kerja apresiasi yang sangat positif.

Melalui Sanggar Sastra itulah ternyata banyak melahirkan deklamator/deklamatris ketimbang penulis puisi. Kegiatan dan pembinaan Sanggar Sastra itu memang tidak tertuju bagaimana cara menulis puisi misalnya, namun kegiatan itu lebih mengarah kepada bagaimana melisankan teks puisi dengan baik. Kalaupun kemudian muncul penulis puisi yang bagus seperti Awu Samidha, Jalius Marbe, Umar Zippin, Emedi Sery, Hendra Kusuma Wijaya, dan Z.A. Narasinga, hal itu disebabkan proses individual dalam rangka mengasah bakat kepenyairan masing-masing.

Kemudian memasuki tahun 1980-an, geliat sastra/puisi bertumpu dan terpusat di kota Palembang. Munculnya tradisisi baru berupa festival baca puisi mulai menjadi wabah, sehingga kehidupan dunia sastra makin berdenyut.

Publik sastra di Palembang setidaknya mulai akrab dengan nama-nama sastrawan, seperti Taufik Ismail, Rendra, Sutarji Calzoum Bachri, Yudhistira Adhi Nugraha, dan Abdul Hadi WM. Di sisi lain karya Zainal Abidin Hanif, Umar Zippin, Koko Bae, Jalius Marbe, Narasinga, dan Hendra Kusumawijaya mulai akrab di telinga publik sastra Sumatera Selatan, khususnya Palembang dikarenakan puisi-puisi mereka kerap kali dijadikan bahan lomba baca puisi.

Di tengah maraknya festival baca puisi sebagai cerminan budaya formalistik, maka di sisi lain turut pula mewarnai dengan terbitnya beberapa antologi puisi tunggal maupun bersama dalam bentuk cetakan buku maupun manuskrip antara lain, Sajak Kumur-kumur karya Yan Romain Hamid, Perjalanan Libeling karya Tommy dan Zulkifli, Sajak Calon Presiden 2100 karya Koko Bae, dan Musi karya Toton dan Iqbal Permana.

Akumulasi dari proses kepenyairan masa itu puncaknya ditandai dengan penerbitan dan pembacaan puisi oleh 10 Penyair (4 Nov. 1988). Sepuluh penyair itu adalah Anwar Putra Bayu, Ade Muchklis T, Jalius Marbe, Dimas Agus Pelaz, JJ. Polong, Tommy, Toton Da’i Prmana, Yunen Asmara, Zulkifli Hardy, dan Yos El Yass. Setahun kemudian dilanjutkan lagi dengan penerbitan kumpulan puisi bersama Rendezvouz oleh Anwar Putra Bayu, Dimas Agus Pelaz, dan Toton Dai Permana. Bertolak dari sinilah suasana bersastra di Palembang mulai berkembang.

Munculnya iklim yang mulai kondusif ditandai dengan munculnya media cetak atau surat kabar lokal yang kemudian menyediakan halaman sastra dan budaya seperti Media Guru, Suara Rakyat Semesta, Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post serta ditambah munculnya kantung-kantung budaya/sastra. Sementara geliat sastra di tempat lain di wilayah Sumatera Selatan belum kelihatan kecuali Kabupaten Lahat yang dimotori Syamsu Indra Usman.HS.

Iklim bersastra di masa tahun 1980-an bertambah naik suhunya yang pada gilirannya ada penajaman ketika masuk dan menjalani tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Di masa-masa ini pula penerbitan buku puisi makin banyak muncul. Demikian pulan berbagai kegiatan sastra yang bersifat lokal, nasional, bahkan internasional.

Dalam era itu pula dunia sastra Palembang, sekedar untuk menyebut beberapa nama, memunculkan nama-nama seperti T. Wijaya, SN. AL Sadjidi, Antonarasoma, Warman. P, Nurhayat Arif Permana, Ahmad Rapani Igama, JJ. Polong, T. Junaidi, D.I. Mulya, Conie. C. Sema, M. Arpan Rachman, dan Ine Somad. Tentunya sebagian besar dari mereka hingga saat ini masih dalam proses berkarya.

Gerakan Menulis Novel dan Warna Lokal

Dalam tujuh tahun belakangan ini, perkembangan sastra di Sumatera Selatan cukup menarik gejalanya. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui. Pertama munculnya beberapa nama pengarang perempuan seperti Ikhtiar Hidayati (puisi/cerpen), Handayani (puisi), Dahlia (cerpen, puisi, novel), Duhita Ismaya Arimbi (puisi), Indah Rizky Ariani (puisi), Ikhtiar Jannati Arini (puisi), Pipit (puisi), Deris Afriani (cerpen). Selain itu juga muncul pengarang laki-laki antara lain, hanya untuk menyebut beberapa nama, Anton Bae (puisi, cerpen), Pinasti S. Zuhri (cerpen, puisi), Rendi Fadillah (cerpen, puisi), Sena B. Sulistya (puisi), Nurahman (cerpen), Rizal Bae (cerpen, drama), Koko P. Bhirawa, dan Eko Putra (puisi).

Kedua adanya kecenderungan beberapa penulis lama mulai menulis novel. Dalam lebih kurang dua tahun belakangan ini ranah sastra Sumatera Selatan mulai diwarnai dengan adanya karya novel antara lain Juaro dan Buntung (T. Wijaya), Perempuan Sungai (T. Junaidi), Angin (Toton Dai Permana), Sang Duta (Purhendi), Jungut (Dahlia), Dinding (M. Arpan Rachman), Sekojo (Anton Bae), Pulau Kemaro (Anwar P Bayu), dan Napsiah Matjik (Antonarasoma). Kecuali novel karya T. Wijaya yang sudah dalam bentuk terbitan buku, maka karya novel lainya masih dalam bentuk manuskrip. Untuk penulisan novel, jauh sebelumnya memang sudah dimulai oleh B. Yass, K. Arpan, Helmi Apri HZ, dan Kamil.

Ketiga adanya kecenderungan warna lokal dalam beberapa tulisan, baik puisi, cerpen, drama, dan novel. Novel Buntung misalnya, novel ini bercerita soal masa depan Indonesia, sebuah prediksi (materialisme marxis) yang membenturkan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia. Namun dengan mengambil setting “ Indonesia kecil” yakni Palembang, di mana Palembang memiliki sejarah yang panjang dan besar di nusantara, tentunya menjadi contoh ideal buat Indonesia .

Tokoh-tokoh di dalam novel Buntung ini tidak ada yang menonjol. Semua tokoh sama. Cerita terbangun atas peristiwa seperti karakter manusia, ketegangan sosial, ekonomi, dan kepercayaan. Pada akhirnya cerita Buntung ditutup dengan keinginan manusia kembali pada hati nuraninya untuk hidup damai dan tenang. Dan tidak peduli dengan sejarah, Negara, atau peradaban besar.

Tidak peduli dengan Indonesia itu masih ada atau tidak ada.
Novel yang ditulis oleh T. Wijaya ini merupakan hasil studi teks sejarah, kultural, dan empirik dengan peristiwa-peristiwa sosial, seperti mengenai perilaku dan sikap para preman Palembang . Novel Buntung ini tidak lain sebagai kelanjutan dari novel Juaro yang sudah diteliti oleh Linny Oktovianny dan Latifah Ratnawati.

Namun, yang menggembirakan untuk perkembangan novel di Sumatera Selatan saat ini, adalah munculnya novel Jungut yang ditulis oleh seorang perempuan bernama Dahlia Rasyad. Novel itu bercerita tentang perampasan tanah adat seluas 3000 Ha, yang pada gilirannya tanah itu menjadi hutan industri. Setting lokal sangat kuat mewaranai novel tersebut. Tidak kalah menariknya tatkala Purhendi mencoba mengetengahkan persoalan sosial budaya dalam novelnya Sang Duta. Betolak dari tradisi sedekah lepas, maka kisah para duta pun memiliki warna lokal yang kuat.

Gerakan menulis novel dan membangun warna lokal yang terjadi saat ini di Sumatera Selatan (Palembang) setidaknya “jihad kembali ke akar” telah dilakukan oleh Taufik Wijaya. Hasil provokasinyanya beberapa pengarang mengalami “kehamilan”. Hal itu mengingatkan saya pada pandangan Maman S. Mahayana, bahwa penting memproklamirkan semangat lokalitas menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat.

Kamis, 21 Agustus 2008

Refleksi Muhammad Azhari

(Dimuat Harian Sumatera Ekspres 17 agustus 2008)

Reportase Merdekawati

Muhammad Azhari

Seandainya Jeng hanya mengutak-atik berita dari internet—tanpa wawancara langsung ke lokasi syuting film atau iklan—selama menjadi jurnalis entertainment di sebuah redaksi televisi atau koran, maka jangan pernah berharap menerima karangan bunga dari aktor pujaan. Seperti halnya Merdekawati, seorang wartawati—makhluk Tuhan yang serba (ingin) tahu. Akan tetapi, stereotip yang dimiliki jurnalis perempuan itu belum tentu bisa langsung mengenali karakter tokoh lelaki yang dicari. Toh, tidak ada seragam khusus—seperti gagasan KPK menciptakan efek jera bagi para koruptor—untuk menandai laki-laki pujaannya itu perjaka, duda, atau “berkelamin ganda”. Dengan kata lain, sedalam-dalamnya peristiwa, gosip, atau gunjingan di seluruh muka bumi masih bisa diketahui oleh Merdekawati, tapi telaga hati laki-laki tentu tak mudah dia pahami. Itu dikatakan Merdekawati sendiri saat menerima kiriman puisi*) yang saya titipkan padanya—tak peduli dimuat atau tidak—di redaksi tempatnya bekerja:

*)Perempuan pada Jendela

dalam Lukisan Kemerdekaan

Dengan kutang merah, kebaya putih

ia mengajak kelaminku berdiri, bergerak

masuk ke dalam jendela sajak-sajak

ia kiblatkan wajah, payudara, serta

kemaluannya menghadap sejarah

yang kuterjemahkan dari bangku sekolah

“Kita belum merdeka, Cucuku. Selagi perang

abadi dalam kata-katamu”, saat revolusi

hingga reformasi, “Lukisan darah dan air mata

bagai lampu peron stasiun kereta penghabisan”

Menembus dinding rahim ibu pertiwi

ia menatap sungguh hari ini

lebih kekal dari kemarin atau nanti, karena

waktu telah berhenti

memerkosa harga diri

Barangkali membaca puisi itu lebih njelimet bila dibandingkan ikut kontes Puteri Indonesia atau Miss Universe. Merdekawati dulu juga pernah jadi ratu kecantikan lho. Niatnya cuma setahun menunda pernikahan demi karier itu, ternyata malah bertahun-tahun. Karena selalu terpilih jadi ratu, Merdekawati kekeuh memangku mahkota yang diidam-idamkan oleh kaum hawa itu. Oleh karenanya, safety kehamilan juga jadi prioritas dong. Mana mungkin kan saat mendampingi tamu kenegaraan perut sang Ratu membesar. Ternyata, Merdekawati cukup peduli dengan umur. Satu dekade jadi ratu kecantikan, kemungkinan sepuluh tahun tak kunjung “didatangi” laki-laki. Maka dari itu, Merdekawati beralih profesi.

Berkenaan dengan itu, profesi apa pun yang digeluti Merdekawati masih belum berhasil mengundang laki-laki untuk melepaskan panah asmara ke hatinya. Impian tidur di ranjang mawar bersama suami, bermandikan cahaya bulan, kerlip bintang, dan dibelai angin malam, seakan pupus saat menyadari usia lebih berat dari tubuhnya. Namun, Merdekawati tidak akan pernah mau hidup terjajah dalam dunia merah jambu.

Pada akhirnya, reportase 5W+1H tanpa sengaja menuntun Merdekawati mampu menjawab pertanyaan hati kecilnya itu, mencapai puncak perjuangan setelah menemukan “soulmate” yang hakiki:

+ Apa kata dunia bila tak punya cinta?

- Belum merdeka.

+ Di mana harus mencari cinta?

- Di darat, laut, dan udara.

+ Kapan saatnya membutuhkan cinta?

- Sebelum, saat, dan setelah kemerdekaan

+ Kenapa mesti ada cinta?

- Supaya tidak terjajah.

+ Bagaimana menjaga cinta?

- Menghargai para pahlawannya.

Persoalan cinta Merdekawati memang tergolong unik. Bahkan, lebih menarik daripada kisah Matahari—boleh dibilang sebagai hipogram (latar penciptaan) untuk merayakan kemerdekaan ala clubbers di kafe-kafe, diskotek, pub, atau night club. Konon kabarnya, Matahari (Margaretha Geertruida Zelle) dilahirkan pada 7 Agustus 1876 di Leeuwarden, putri seorang pengusaha Belanda yang beristrikan seorang perempuan Jawa. Setelah gagal menjadi guru dan juga kehancuran pernikahannya dengan dua orang anak, ia pindah ke Paris dan menjadi seorang penari profesional dengan gerakan eksotik (striptease) seperti seorang putri Jawa. Namanya pun diganti dengan nama Jawa, yaitu Matahari.

Pada masa Perang Dunia (PD) I, Matahari pernah “tidur” dengan banyak perwira Prancis maupun Jerman hingga menjadi sebuah skandal internasional. Pada tahun 1917, Matahari diadili di Prancis sebagai mata-mata ganda (spionase) untuk Prancis dan Jerman yang menyebabkan ribuan pasukan kedua belah pihak tewas. Matahari dinyatakan bersalah lalu dijatuhi hukuman mati di depan regu tembak pada 15 oktober 1917. Para sejarawan kemudian menyatakan tidak ada bukti sama sekali bahwa Matahari adalah seorang mata-mata. Diyakini, penyebab tuduhan itu sebenarnya hanyalah akibat rasa cemburu dari seorang jendral Prancis terhadap Matahari.

Selain Matahari—Merdekawati tidak masuk hitungan—masih banyak lagi perempuan yang mampu “menggetarkan” dunia. Adapun di antaranya, Kanselir Jerman Angela Merkel atau Hillary Clinton yang tengah berlomba dengan kandidat pria di kubu demokrat menuju ke Gedung Putih. Selain itu, siapa tidak mengenal Benazir Buttho yang hingga ajalnya terus mendobrak sistem politik di Pakistan yang didominasi laki-laki.

Sementara, di Indonesia ada Cut Nyak Dien, Raden Ajeng Kartini, dan Herlina, perempuan penerjun di pembebasan Irian Barat (sekarang Papua). Akan tetapi, citra perempuan Indonesia pernah tersingkirkan pada masa Orde Baru, di mana kabar burung tentang Gerwani dengan lukisan gambar di Lubang Buaya seakan-akan menjadikan ilustrasi sejarah bahwa perempuanlah yang menghabisi keenam jenderal itu.

Dari analogi yang begitu kompleks, antara seks dan kekuasaan; antara cinta dan pekerjaan, seyogianya menjadi renungan suci bangsa ini di Hari Kemerdekaan. Karena, cinta adalah kemerdekaan manusia mencari kehidupannya.Dan, perempuan kadang lebih merdeka menentukan cinta sejatinya.

Fantastis, berapa puluh brankas atau loker di meja redaksi Merdekawati penuh dengan transkrip atau paper yang menyimpan “dunia perempuan”. Berbagai gelar para Srikandi ada di sana, mulai dari diploma, sarjana, master, hingga doktor mengirimkan artikel dan/atau kontak jodoh. Ruang-ruang kosong di perkantoran, apartemen, kondominium, hingga lokalisasi sekalipun, senantiasa disejukkan oleh aura kewanitaan yang tidak hanya mengepentingkan pikiran, tapi juga perasaan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Namun, argumen macam apa yang patut dipresentasikan pada jurnal ilmiah, blog atau disertasi tentang hak dan kewajiban perempuan masa kini. Apalagi menyangkut isu gender yang mengultuskan bahwa perempuanlah yang melahirkan cinta. Entah, polemik cinta harus menjadikan eksistensi perempuan seperti Merdekawati suntuk dalam kariernya hingga menyerupai “rumah kaca” dengan gembok baja. Sehingga, pada waktu yang tepat kuncinya harus dibuka sendiri. Yang perlu dicatat, kemerdekaan bukan hanya diperjuangkan oleh pahlawan, tapi andil perempuan juga sangat menentukan peradaban suatu bangsa.Merdeka!(*)

-artikel Anto Narasoma

(Dimuat Harian Sumatera Ekspres 24-08-2008)


Pesan Terkirim, Ungkapan

Birahi Sang Nyonya Lirik?

-Anto Narasoma

MAUT dan kematian, bagi banyak orang merupakan peristiwa seram dan menakutkan. Terutama bagi mereka yang tak siap menghadapi hal tersebut, tentu akan sangat takut mengalaminya. Padahal, bagi orang hidup, kematian adalah peristiwa pasti yang akan melanda siapa pun. Tidak ada makhluk hidup yang tidak mati pada akhir riwayat mereka.

Tapi bagi penyair, keseraman kata maut atau ungkapan kematian, secara konotatif merupakan pintu masuk yang sangat indah bagi perpindahan ‘’ruang hidup’’ hamba Tuhan. Benarkah demikian? Coba kita telusuri maknanya melalui pendekatan teks, penjelasannya akan menyiratkan kepada kita kecenderungannya memang seperti itu.

Proses sakaratul maut (menjelang kematian) seperti yang dituturkan di atas, digambarkan penyair Anwar Putra Bayu dalam puisinya bertajuk, Pesan Terkirim. Tapi penggambaran itu tidak seseram seperti perasaan seseorang yang tak siap menghadapi kematian. Justru, penggambaran sakaratulmaut dalam puisi itu dikemas dalam bahasa puitis yang kaya jebakan persepsi. Bahkan kehadiran sang nyonya lirik dalam puisi itu tergambar begitu bergairah menumpahkan birahinya.

Meski gambaran puisi itu menyiratkan tentang gairah kemesraan seorang nyonya, tapi untuk memahami isi puisi tak segampang ketika kita membaca karya fiksi seperti cerpen, cerber, atau novel. Banyak karya fiksi seperti cerpen, misalnya, format penyajiannya selalu menggambarkan peristiwa secara bertutur, sehingga pembaca akan langsung dapat menangkap maksud pengambaran cerita yang disajikan penulis.

Bahkan, si pembaca terkadang bisa langsung mencerna isi cerpen kendati ia belum menuntaskan bacaannya. Tapi untuk mengerti maksud pada larik-larik (kalimat) puisi, seseorang perlu membedah atau melakukan pendekatan empirik untuk memahami pikiran penyairnya. Lantas, bagaimana orang bisa menerobos masuk ke makna dunia puitika?

Guru besar Rijks-Universiteit Utrecht, Dr TH Fischer mengatakan, masuk ke dalam rumusan budaya pikir seseorang atau masyarakat, perlu mengenal kehidupan mereka sehari-hari. Dengan begitu akan dapat diketahui rumusan pola pikirnya mengenai perkembangan sesuatu hal yang ia tulis (halaman 10 buku.. Enleiding Tot De Culturele Anthropologie Van Indonesie terbitan PT Pembangunan 1953).

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, budaya puisi (baca: pantun) selalu terkait dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka itu andai-andai (bahasa perumpamaan) yang digunakan selalu tercermin dalam berbagai pola idiom. Karenanya, kekayaan puisi modern terhadap idiom yang disajikan lewat kata-kata pilihan (diksi), selalu menggambarkan kekayaan pola pikir sang penyair. Sebab, ia mampu meneropong beragam persoalan melalui kiasan alam, wujud Tuhan lirik, serta kepribadian sang penyair yang lebur sebagai aku lirik.

Tentu saja, idiom dan diksi tidak mungkin akan tergambar jika ide yang muncul dalam gagasan seorang penyair tidak ia kelola dengan pengalaman batin yang mengendap sebagai residu yang kental. Jika tidak demikian, akan terjadi kekaburan makna (misinterpretasi). Kekaburan makna ini tidak mampu mengangkat kekuatan karyanya untuk dijadikan pokok bahasan, karena ketidakjujuran sikapnya sendiri.

Seorang penyair seperti Anwar Putra Bayu (APB) yang sudah saya kenal sejak sama-sama berkecimpung dalam dunia sastra pada awal 1980-an, seringkali memiliki ide-ide nakal yang dinamis. Karenanya, sejumlah karyanya kerapkali menggelitik minat untuk dipahami sebagai karya yang perlu dianalisis.

Dalam puisinya berjudul Pesan Terkirim yang direlease tahun 2005, penyampaiannya mengacu ke soal pengiriman SMS pada seseorang dalam lirik. Tapi dari lirik-liriknya yang nakal membuat puisi itu menjadi menarik, karena ada rasa dan ‘’rangsangan’’ gagasan.

Dalam konteks itu pula kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana, mengatakan keelokan puisi APB tergambar dari kebinalan ide dan keberaniannya mematok diksi aneh, sehingga menarik untuk dianalisis dan dibaca.

‘’Padahal idenya sangat sederhana. Seperti puisi Pesan Terkirim, misalnya. Tapi karena APB cukup berpengalaman mengolah ide menjadi karya yang nakal, maka sejumlah puisinya menjadi sangat kuat dan seringkali menjadi pokok bahasan di berbagai media massa dan perguruan tinggi,’’ kata Maman.

Apa yang melatarbelakangi seorang APB menulis puisi Pesan Terkirim? Bentuk apapun ide yang muncul, maka itulah bahan yang harus digarap sekuatnya, sesuai dengan tahap kemampuan dan pengalaman sang penyair.

Andaikan saya mencoba mengupas puisi Pesan Terkirim menurut analisis yang terbatas dan sesuai dengan sudut pandang saya sendiri, itulah maksud tujuan sang penyair. Lantas, apakah hasil analisis saya tentang puisi Pesan Terkirim itu sesuai makna yang tepat?

Kritikus sastra, HB Yassin (alm) sendiri tidak berani mengatakan bahwa analisanya terhadap sebuah karya puisi merupakan analisis yang tepat. Sebab, kandungan interpretatif dalam wilayah jangkau puisi memiliki areal pemahaman yang sangat luas. Meski demikian, kedalaman dunia interpretasi pada sastra puisi, tersedia sebuah ruang bagi pembedah untuk memberikan nilai pemaknaan (apresiasi) sesuai sudut pandang yang ia kuasai.

Ada hal menarik yang perlu dicermati pada kandungan majas puisi Pesan Terkirim. Pada bait pertama terdapat empat larik, Sesenja ini kau tiba di depan pintu, nyonya/ seraya menggincu bibir kau pun berkata:/ Aku telah datang/ siapkah kita terbang sayang? Sepintas kita disuguhi penafsiran tentang kegenitan seorang wanita yang datang kepada.. (aku lirik).

Kemudian kegenitan dan kebinalan itu berlanjut pada bait kedua, Kau jilati tubuhku setelah merayu/ lalu kau raba serta mencium ubun-ubun./ Nyonya sabarlah/ Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar. Pada bait kedua ini keberanian sang nyonya lirik menumpahkan segenap rasa birahinya kepada sang aku lirik benar-benar mengikat persepsi para penikmat puisi. Terutama pada larik pertama dan dua (bait kedua), gambaran yang disajikan benar-benar aduhai.

Dapat dibayangkan, ketika larik-larik itu menjelaskan ekspresi birahi sang nyonya lirik (Kau jilati tubuhku setelah merayu/lalu kau raba serta mencium ubun-ubun). Pada larik ketiga (bait kedua), aku lirik mencoba meredakan rangsangan birahi sang nyonya lirik, Nyonya sabarlah. Justru larik keempat, aku lirik menjebak persepsi kita dengan kalimat, Aku ingin kirim pesan ke Sana, sebentar.

Dalam bait empat, APB meningkatkan persepsi yang kian menanjak, misalnya, Lewat udara bergelombang/ Sejak kau datang/ Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Wah, dia (APB) begitu pandai menggiring persepsi kita pada jebakan interpretatif kebirahian. Memasuki bait lima (tiga larik), persepsi birahi jadi pecah. Coba kita simak, Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Apakah di bait ini ada puncak persetubuhan persepsi yang begitu binal? Pertanyaan itu kian tak terjawab setelah bait enam (tiga larik) menutup kelengkapan puisi Pesan Terkirim,.. Telepon genggam masuk di kepala merusak jaringan/sinyal berbunyi: Pesan terkirim.

Benarkah puisi Pesan Terkirim ini bertutur tentang kebinalan seorang nyonya (lirik) yang selalu mengumbar birahinya? Bisa jadi ini sebuah jebakan. Jebakan-jebakan persepsi secara interpretatif di dalam ruang puisi ini menarik kita untuk menerobos masuk ke lorong persepsi.

Maka itu, untuk mencari pintu masuk ke ruang interpretatif sebuah puisi, kita perlu membaca keseluruhan majas puisi tersebut. Dengan begitu, secara semiotik, kita dapat melakukan pendekatan terhadap kata per kata yang dipapar dalam larik-larik puitika.

Saya menangkap, ketika seorang APB mulai merelease Pesan Terkirim, maksud sesungguhnya bukan menuturkan ’’kebinalan birahi’’ sang nyonya lirik. Pengaburan persepsi ini merupakan jebakan puitika yang paling banyak dilakukan penyair. Kekayaan konotasi dalam ide dan gagasan karya seperti itu merupakan kreatifitas yang dinamis dari sang penyair ketika mengungkapkan keutuhan bentuk dan isi puisinya. Maka itu corak karya APB ini (Pesan Terkirim) perlu disimak secara hati-hati.

Pesan Terkirim, setidaknya mengingatkan kita kepada konteks person tertulis melalui telepon genggam. Entah, hanya sang penyair sendiri yang tahu persis ketika ia mengembangkan idenya dari telepon genggam. Tapi saya yakin maksudnya bukan itu. Jika kita telusuri pada lorong-lorong makna melalui pendekatan teks, gambaran estetik yang terang-terang buram dalam puisi Pesan Terkirim, menyirat tentang sebuah peristiwa sakarultmaut (kehadiran malaikat pencabut nyawa) pada diri sang aku lirik.

’’Kengerian’’ peristiwa itu dijelaskan pada bait ketiga dan keempat,...Lewat udara bergelombang/Sejak kau datang/Telah membaui kamar ini dengan merangsang. Kemudian berlanjut pada tiga larik di bait keempat.. Kau menghisap/ledakan nafas terhenti/tak ada ampunan di sekeliling. Pada bait selanjutnya dari puisi Pesan Terkirim itu makin memperjelas peristiwa tersebut.

Coba kita simak, ..Ledakan napas terhenti (larik kedua bait empat) menjelaskan tentang kematian sebenarnya. Tiga larik di bait terakhir, keperkasaan malaikat maut (ajal) begitu berkuasa. Bagaimana keperkasaannya merusak segala metabolisme hidup aku lirik yang mampu mencabut nyawa setelah seluruh jaringan tidak berfungsi..sinyal berbunyi: Pesan terkirim..(nyawa lepas dari jasad)

Begitu bergetarnya pengalaman religusitas yang mengerikan aku lirik ketika menghadapi sakaratulmaut memenuhi panggilan Tuhannya dalam arasy sanubari yang dekat tapi terasa jauh, jauh namun teramat dekat (..jika ada yang bertanya tentang Aku, katakan ya Muhammad.., Aku tidak jauh dari urat lehermu...: Hadist Qudsi). (penulis adalah penyair dan seniman teater).