Sabtu, 30 Agustus 2008

Pengarang Perempuan dan Lokalitas

(Dimuat Harian Sumatera Ekspres 10-8-2008)

Pengarang Perempuan dan Lokalitas

Oleh Anwar Putra Bayu

Sebuah kenyataan yang harus diterima oleh jagad sastra, khususnya dunia pengarang di Sumatera Selatan dengan jumlah penduduk lebih kurang 6.518.791 jiwa (data tahun 2003) yang mendiami 11 kabupaten dan 4 kotamadya, maka sedikit sekali bahkan dapat dihitung dengan jari tangan adanya pengarang berjenis kelamin perempuan.

Bila dicermati beberapa buku yang memuat tentang data atau biografi pengarang Indonesia, Buku Direktori Penulis Indonesia (Depdikbud 1997) misalnya, maka hanya tercatat nama seorang perempuan kelahiran Bangka, yakni Hamidah. Selebihnya pengarang dari Sumatera Selatan tercatat nama-nama seperti A. Bastari Asnin (Muara Dua, Komering), Alex Leo (Lahat), Bur Rasuanto (Palembang), Koko Bae atau Surya Gunawan (Palembang), Nurhayat Arief Permana (Palembang), Sobron Aidit (Belitung), Syamsu Indra Usman (lahat), T. Wijaya (Palembang), dan Wahab Manan (Palembang). Ini menunjukan bahwa dunia kepengarangan lebih banyak didominasi kaum lelaki.

Selain itu, sebagaimana nama-nama tersebut di atas, maka nama seperti B. Yass yang kelahiran Huta Padang, Kisaran (Sumatera Utara) juga merupakan sosok pengarang/sastrawan Sumatera Selatan yang tak kalah pentingnya memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra modern Indonesia. Di masa hidupnya B. Yass banyak menyebarluaskan karya-karyanya berupa cerita pendek, novel, dan sastra lakon ke beberapa media cetak terbitan pusat dan daerah.

Setelah Hamidah meninggal pada 8 Mei 1953, tidak ditemukan lagi pengarang perempuan selama lebih kurang 37 tahun yang khusus memberi kontribusi terhadap denyut sastra di Sumatera Selatan. Barulah memasuki era 1990-an nama-nama seperti Hesma Eryani, Emedi Serry dan Ine Somad muncul. Kehadiran mereka mewarnai jagad sastra Sumatera Selatan melalui karya puisi mereka yang diterbitkan media cetak lokal.

Ine Somad misalnya, bersama lima penyair laki-laki (Antonarasoma, Dimas Agus Pelaz, Mulyadi J Malik, Nurhayat Arief Permana, S.N. Al-Sjajidi, dan Sumarman) adalah satu-satunya perempuan yang terlibat dalam Kumpulan Puisi Profetik Ghirah, yang diterbitkan oleh Sriwijaya Media Utama pada tahun 1992. Nama Ine Somad, Hesma Heryani, dan Emedi Seri belakangan ini, terutama sejak akhir tahun 1999 praktis tak terdengar lagi, apalagi setelah mereka menikah barangkali urusan domestik tampak lebih jadi penting. Meskipun menurut saya ini bukan satu-satunya alasan kemudian menghilang.

Membaca perkembangan sastra di Sumatera Selatan saat ini, maka tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan pertumbuhan dan perkembangan sastra sebelumnya. Menurut B. Trisman dalam buku Biografi Pengarang Sumatera Selatan (2004) mengungkapkan bahwa kehidupan dunia kesasteraan modern dan keaktifan pengarang/sastrawan Sumatera Selatan dalam melahirkan karya-karya mereka sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan. Hal itu, tulis Trisman, setidak-tidaknya dapat ditandai dan ditelusuri melalui sistem penerbitan di Sumatera Selatan.

Dalam tulisan ini, saya belum dapat melacak hingga awal abad ke 19 mengenai kehidupan sastra, ketika di masa itu sudah ada surat kabar (Soeloeh Sriwijaya) yang terbit di Palembang. Mungkin untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentu akan membutuhkan waktu panjang agar bisa menggali data atau informasi yang berkaitan dengan denyut nadi sastra di Sumatera Selatan. Akan tetapi, paling tidak perkembangan informasi tentang kehidupan sastra sejak tahun 1970-an hingga 2000-an ini setidaknya dapat memberi gambaran.

Di masa tahun 1970-an, beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Sumatera Selatan ada semacam dimulainya semangat baru ketika memasuki babak baru peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru dimana kehidupan kesenian mulai “disehatkan” kembali sejalan dengan kemurniannya. Betapa tidak, semasa Partai Komunis Indonesia (PKI) berkuasa dan mendapat tempat di tahun 1960-an, maka ketika itu kesenian harus dibelokkan menjadi alat kepentingan partai, sastra termasuk di dalamnya, baik sastra tulis maupun sastra lisan.

Semangat baru itu ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan sastra yang diselenggarakan berbagai institusi. Geliat sastra yang terjadi di beberapa daerah itu ternyata untuk beberapa daerah di Sumatera Selatan tidak terlalu banyak melakukan aktivitas bersastra seperti diskusi, seminar, pembacaan karya sastra, dan penerbitan buku.

Pengecualian di kota Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, suasana bersastra terutama pembacaan puisi atau pentas drama memang ada sedikit gaungnya. Ini tentunya disebabkan minimnya ruang berekspresi, sehingga sulit untuk mendorong perkembangan atau pertumbuhan sastra itu sendiri. Pada masa itu Palembang boleh dibilang minim soal media cetak (surat kabar atau majalah), sehingga tidak ada saluran kreatif bagi penulis puisi dan cerita pendek. Jalan satu-satunya adalah mengirimkan karya sastra ke daerah lain seperti Jakarta, Medan, dan Padang

Keterbatasan itu tidak menjadi beberapa penggiat sastra lalu menyerah. Koko Bae (Surya Darmawan) misalnya, dalam usia yang masih muda saat itu berupaya melahirkan antologi puisi mandirinya Gado-gado Kocak Koko Bae yang diterbitkan pada tahun 1976 di Palembang. Menurut hemat saya, bahwa antologi Koko Bae itu merupakan buku puisi tunggal yang pertama mengisi tahun 1970-an. Menyusul sembilan tahun kemudian barulah puisi-puisi Zainal Abidin Hanif mengisi Kumpulan Puisi Penyair se-Sumatera yang diterbitkan di Medan, Sumatera Utara. Setidaknya, tahun 1970-an itu ada denyut sastra di Sumatera Selatan.

Kemunculan kedua penyair itu, Koko Bae dan Zainal Abidin Hanif, tentu sangat berbeda latar belakangnya. Koko Bae muncul dari arus bawah, sedangkan Zainal Abidin Hanif muncul dari arus menengah dari lingkungan birokrat. Meminjam istilah B. Yass, tahun-tahun itu ada istilah seniman/sastrawan bilsuit. Dengan kata lain, seniman atau sastrawan bilsuit ruang geraknya didukung penunjukkan atau “di SK kan”.

Antara Koko Bae dan Zainal Abidin Hanif memang berbeda terutama dalam sikap berkesenian/bersastra. Dalam puisi misalnya, kedua penyair itu memiliki visi serta ideologi yang berbeda. Dari segi tema Koko Bae lebih cenderung ke warna protes sosial, sedangkan Zainal Abidin Hanif lebih menonjol kepada warna ketuhanan.

Tidak berhenti pada penerbitan antologi itu saja, Koko Bae pun mulai mengenalkan tradisi baca puisi di Palembang. Dia membacakan karyanya di depan publik. Apa yang dilakukan oleh Koko Bae tak lain untuk mengimbangi tradisi baca puisi (audio) di RRI melalui Sanggar Sastra yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif. Acara baca puisi yang diasuh oleh Zainal Abidin Hanif itu memang sangat disukai masyarakat pendengar di Sumatera Selatan. Apa yang dilakukan oleh kedua penyair pada waktu itu merupakan kerja apresiasi yang sangat positif.

Melalui Sanggar Sastra itulah ternyata banyak melahirkan deklamator/deklamatris ketimbang penulis puisi. Kegiatan dan pembinaan Sanggar Sastra itu memang tidak tertuju bagaimana cara menulis puisi misalnya, namun kegiatan itu lebih mengarah kepada bagaimana melisankan teks puisi dengan baik. Kalaupun kemudian muncul penulis puisi yang bagus seperti Awu Samidha, Jalius Marbe, Umar Zippin, Emedi Sery, Hendra Kusuma Wijaya, dan Z.A. Narasinga, hal itu disebabkan proses individual dalam rangka mengasah bakat kepenyairan masing-masing.

Kemudian memasuki tahun 1980-an, geliat sastra/puisi bertumpu dan terpusat di kota Palembang. Munculnya tradisisi baru berupa festival baca puisi mulai menjadi wabah, sehingga kehidupan dunia sastra makin berdenyut.

Publik sastra di Palembang setidaknya mulai akrab dengan nama-nama sastrawan, seperti Taufik Ismail, Rendra, Sutarji Calzoum Bachri, Yudhistira Adhi Nugraha, dan Abdul Hadi WM. Di sisi lain karya Zainal Abidin Hanif, Umar Zippin, Koko Bae, Jalius Marbe, Narasinga, dan Hendra Kusumawijaya mulai akrab di telinga publik sastra Sumatera Selatan, khususnya Palembang dikarenakan puisi-puisi mereka kerap kali dijadikan bahan lomba baca puisi.

Di tengah maraknya festival baca puisi sebagai cerminan budaya formalistik, maka di sisi lain turut pula mewarnai dengan terbitnya beberapa antologi puisi tunggal maupun bersama dalam bentuk cetakan buku maupun manuskrip antara lain, Sajak Kumur-kumur karya Yan Romain Hamid, Perjalanan Libeling karya Tommy dan Zulkifli, Sajak Calon Presiden 2100 karya Koko Bae, dan Musi karya Toton dan Iqbal Permana.

Akumulasi dari proses kepenyairan masa itu puncaknya ditandai dengan penerbitan dan pembacaan puisi oleh 10 Penyair (4 Nov. 1988). Sepuluh penyair itu adalah Anwar Putra Bayu, Ade Muchklis T, Jalius Marbe, Dimas Agus Pelaz, JJ. Polong, Tommy, Toton Da’i Prmana, Yunen Asmara, Zulkifli Hardy, dan Yos El Yass. Setahun kemudian dilanjutkan lagi dengan penerbitan kumpulan puisi bersama Rendezvouz oleh Anwar Putra Bayu, Dimas Agus Pelaz, dan Toton Dai Permana. Bertolak dari sinilah suasana bersastra di Palembang mulai berkembang.

Munculnya iklim yang mulai kondusif ditandai dengan munculnya media cetak atau surat kabar lokal yang kemudian menyediakan halaman sastra dan budaya seperti Media Guru, Suara Rakyat Semesta, Sumatera Ekspres dan Sriwijaya Post serta ditambah munculnya kantung-kantung budaya/sastra. Sementara geliat sastra di tempat lain di wilayah Sumatera Selatan belum kelihatan kecuali Kabupaten Lahat yang dimotori Syamsu Indra Usman.HS.

Iklim bersastra di masa tahun 1980-an bertambah naik suhunya yang pada gilirannya ada penajaman ketika masuk dan menjalani tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Di masa-masa ini pula penerbitan buku puisi makin banyak muncul. Demikian pulan berbagai kegiatan sastra yang bersifat lokal, nasional, bahkan internasional.

Dalam era itu pula dunia sastra Palembang, sekedar untuk menyebut beberapa nama, memunculkan nama-nama seperti T. Wijaya, SN. AL Sadjidi, Antonarasoma, Warman. P, Nurhayat Arif Permana, Ahmad Rapani Igama, JJ. Polong, T. Junaidi, D.I. Mulya, Conie. C. Sema, M. Arpan Rachman, dan Ine Somad. Tentunya sebagian besar dari mereka hingga saat ini masih dalam proses berkarya.

Gerakan Menulis Novel dan Warna Lokal

Dalam tujuh tahun belakangan ini, perkembangan sastra di Sumatera Selatan cukup menarik gejalanya. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diketahui. Pertama munculnya beberapa nama pengarang perempuan seperti Ikhtiar Hidayati (puisi/cerpen), Handayani (puisi), Dahlia (cerpen, puisi, novel), Duhita Ismaya Arimbi (puisi), Indah Rizky Ariani (puisi), Ikhtiar Jannati Arini (puisi), Pipit (puisi), Deris Afriani (cerpen). Selain itu juga muncul pengarang laki-laki antara lain, hanya untuk menyebut beberapa nama, Anton Bae (puisi, cerpen), Pinasti S. Zuhri (cerpen, puisi), Rendi Fadillah (cerpen, puisi), Sena B. Sulistya (puisi), Nurahman (cerpen), Rizal Bae (cerpen, drama), Koko P. Bhirawa, dan Eko Putra (puisi).

Kedua adanya kecenderungan beberapa penulis lama mulai menulis novel. Dalam lebih kurang dua tahun belakangan ini ranah sastra Sumatera Selatan mulai diwarnai dengan adanya karya novel antara lain Juaro dan Buntung (T. Wijaya), Perempuan Sungai (T. Junaidi), Angin (Toton Dai Permana), Sang Duta (Purhendi), Jungut (Dahlia), Dinding (M. Arpan Rachman), Sekojo (Anton Bae), Pulau Kemaro (Anwar P Bayu), dan Napsiah Matjik (Antonarasoma). Kecuali novel karya T. Wijaya yang sudah dalam bentuk terbitan buku, maka karya novel lainya masih dalam bentuk manuskrip. Untuk penulisan novel, jauh sebelumnya memang sudah dimulai oleh B. Yass, K. Arpan, Helmi Apri HZ, dan Kamil.

Ketiga adanya kecenderungan warna lokal dalam beberapa tulisan, baik puisi, cerpen, drama, dan novel. Novel Buntung misalnya, novel ini bercerita soal masa depan Indonesia, sebuah prediksi (materialisme marxis) yang membenturkan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan kepercayaan (agama) masyarakat Indonesia. Namun dengan mengambil setting “ Indonesia kecil” yakni Palembang, di mana Palembang memiliki sejarah yang panjang dan besar di nusantara, tentunya menjadi contoh ideal buat Indonesia .

Tokoh-tokoh di dalam novel Buntung ini tidak ada yang menonjol. Semua tokoh sama. Cerita terbangun atas peristiwa seperti karakter manusia, ketegangan sosial, ekonomi, dan kepercayaan. Pada akhirnya cerita Buntung ditutup dengan keinginan manusia kembali pada hati nuraninya untuk hidup damai dan tenang. Dan tidak peduli dengan sejarah, Negara, atau peradaban besar.

Tidak peduli dengan Indonesia itu masih ada atau tidak ada.
Novel yang ditulis oleh T. Wijaya ini merupakan hasil studi teks sejarah, kultural, dan empirik dengan peristiwa-peristiwa sosial, seperti mengenai perilaku dan sikap para preman Palembang . Novel Buntung ini tidak lain sebagai kelanjutan dari novel Juaro yang sudah diteliti oleh Linny Oktovianny dan Latifah Ratnawati.

Namun, yang menggembirakan untuk perkembangan novel di Sumatera Selatan saat ini, adalah munculnya novel Jungut yang ditulis oleh seorang perempuan bernama Dahlia Rasyad. Novel itu bercerita tentang perampasan tanah adat seluas 3000 Ha, yang pada gilirannya tanah itu menjadi hutan industri. Setting lokal sangat kuat mewaranai novel tersebut. Tidak kalah menariknya tatkala Purhendi mencoba mengetengahkan persoalan sosial budaya dalam novelnya Sang Duta. Betolak dari tradisi sedekah lepas, maka kisah para duta pun memiliki warna lokal yang kuat.

Gerakan menulis novel dan membangun warna lokal yang terjadi saat ini di Sumatera Selatan (Palembang) setidaknya “jihad kembali ke akar” telah dilakukan oleh Taufik Wijaya. Hasil provokasinyanya beberapa pengarang mengalami “kehamilan”. Hal itu mengingatkan saya pada pandangan Maman S. Mahayana, bahwa penting memproklamirkan semangat lokalitas menjadi sebuah gerakan yang lebih mandiri dalam arti tidak lagi bergantung pada dominasi pusat.

Tidak ada komentar: