Kamis, 21 Agustus 2008

Refleksi Muhammad Azhari

(Dimuat Harian Sumatera Ekspres 17 agustus 2008)

Reportase Merdekawati

Muhammad Azhari

Seandainya Jeng hanya mengutak-atik berita dari internet—tanpa wawancara langsung ke lokasi syuting film atau iklan—selama menjadi jurnalis entertainment di sebuah redaksi televisi atau koran, maka jangan pernah berharap menerima karangan bunga dari aktor pujaan. Seperti halnya Merdekawati, seorang wartawati—makhluk Tuhan yang serba (ingin) tahu. Akan tetapi, stereotip yang dimiliki jurnalis perempuan itu belum tentu bisa langsung mengenali karakter tokoh lelaki yang dicari. Toh, tidak ada seragam khusus—seperti gagasan KPK menciptakan efek jera bagi para koruptor—untuk menandai laki-laki pujaannya itu perjaka, duda, atau “berkelamin ganda”. Dengan kata lain, sedalam-dalamnya peristiwa, gosip, atau gunjingan di seluruh muka bumi masih bisa diketahui oleh Merdekawati, tapi telaga hati laki-laki tentu tak mudah dia pahami. Itu dikatakan Merdekawati sendiri saat menerima kiriman puisi*) yang saya titipkan padanya—tak peduli dimuat atau tidak—di redaksi tempatnya bekerja:

*)Perempuan pada Jendela

dalam Lukisan Kemerdekaan

Dengan kutang merah, kebaya putih

ia mengajak kelaminku berdiri, bergerak

masuk ke dalam jendela sajak-sajak

ia kiblatkan wajah, payudara, serta

kemaluannya menghadap sejarah

yang kuterjemahkan dari bangku sekolah

“Kita belum merdeka, Cucuku. Selagi perang

abadi dalam kata-katamu”, saat revolusi

hingga reformasi, “Lukisan darah dan air mata

bagai lampu peron stasiun kereta penghabisan”

Menembus dinding rahim ibu pertiwi

ia menatap sungguh hari ini

lebih kekal dari kemarin atau nanti, karena

waktu telah berhenti

memerkosa harga diri

Barangkali membaca puisi itu lebih njelimet bila dibandingkan ikut kontes Puteri Indonesia atau Miss Universe. Merdekawati dulu juga pernah jadi ratu kecantikan lho. Niatnya cuma setahun menunda pernikahan demi karier itu, ternyata malah bertahun-tahun. Karena selalu terpilih jadi ratu, Merdekawati kekeuh memangku mahkota yang diidam-idamkan oleh kaum hawa itu. Oleh karenanya, safety kehamilan juga jadi prioritas dong. Mana mungkin kan saat mendampingi tamu kenegaraan perut sang Ratu membesar. Ternyata, Merdekawati cukup peduli dengan umur. Satu dekade jadi ratu kecantikan, kemungkinan sepuluh tahun tak kunjung “didatangi” laki-laki. Maka dari itu, Merdekawati beralih profesi.

Berkenaan dengan itu, profesi apa pun yang digeluti Merdekawati masih belum berhasil mengundang laki-laki untuk melepaskan panah asmara ke hatinya. Impian tidur di ranjang mawar bersama suami, bermandikan cahaya bulan, kerlip bintang, dan dibelai angin malam, seakan pupus saat menyadari usia lebih berat dari tubuhnya. Namun, Merdekawati tidak akan pernah mau hidup terjajah dalam dunia merah jambu.

Pada akhirnya, reportase 5W+1H tanpa sengaja menuntun Merdekawati mampu menjawab pertanyaan hati kecilnya itu, mencapai puncak perjuangan setelah menemukan “soulmate” yang hakiki:

+ Apa kata dunia bila tak punya cinta?

- Belum merdeka.

+ Di mana harus mencari cinta?

- Di darat, laut, dan udara.

+ Kapan saatnya membutuhkan cinta?

- Sebelum, saat, dan setelah kemerdekaan

+ Kenapa mesti ada cinta?

- Supaya tidak terjajah.

+ Bagaimana menjaga cinta?

- Menghargai para pahlawannya.

Persoalan cinta Merdekawati memang tergolong unik. Bahkan, lebih menarik daripada kisah Matahari—boleh dibilang sebagai hipogram (latar penciptaan) untuk merayakan kemerdekaan ala clubbers di kafe-kafe, diskotek, pub, atau night club. Konon kabarnya, Matahari (Margaretha Geertruida Zelle) dilahirkan pada 7 Agustus 1876 di Leeuwarden, putri seorang pengusaha Belanda yang beristrikan seorang perempuan Jawa. Setelah gagal menjadi guru dan juga kehancuran pernikahannya dengan dua orang anak, ia pindah ke Paris dan menjadi seorang penari profesional dengan gerakan eksotik (striptease) seperti seorang putri Jawa. Namanya pun diganti dengan nama Jawa, yaitu Matahari.

Pada masa Perang Dunia (PD) I, Matahari pernah “tidur” dengan banyak perwira Prancis maupun Jerman hingga menjadi sebuah skandal internasional. Pada tahun 1917, Matahari diadili di Prancis sebagai mata-mata ganda (spionase) untuk Prancis dan Jerman yang menyebabkan ribuan pasukan kedua belah pihak tewas. Matahari dinyatakan bersalah lalu dijatuhi hukuman mati di depan regu tembak pada 15 oktober 1917. Para sejarawan kemudian menyatakan tidak ada bukti sama sekali bahwa Matahari adalah seorang mata-mata. Diyakini, penyebab tuduhan itu sebenarnya hanyalah akibat rasa cemburu dari seorang jendral Prancis terhadap Matahari.

Selain Matahari—Merdekawati tidak masuk hitungan—masih banyak lagi perempuan yang mampu “menggetarkan” dunia. Adapun di antaranya, Kanselir Jerman Angela Merkel atau Hillary Clinton yang tengah berlomba dengan kandidat pria di kubu demokrat menuju ke Gedung Putih. Selain itu, siapa tidak mengenal Benazir Buttho yang hingga ajalnya terus mendobrak sistem politik di Pakistan yang didominasi laki-laki.

Sementara, di Indonesia ada Cut Nyak Dien, Raden Ajeng Kartini, dan Herlina, perempuan penerjun di pembebasan Irian Barat (sekarang Papua). Akan tetapi, citra perempuan Indonesia pernah tersingkirkan pada masa Orde Baru, di mana kabar burung tentang Gerwani dengan lukisan gambar di Lubang Buaya seakan-akan menjadikan ilustrasi sejarah bahwa perempuanlah yang menghabisi keenam jenderal itu.

Dari analogi yang begitu kompleks, antara seks dan kekuasaan; antara cinta dan pekerjaan, seyogianya menjadi renungan suci bangsa ini di Hari Kemerdekaan. Karena, cinta adalah kemerdekaan manusia mencari kehidupannya.Dan, perempuan kadang lebih merdeka menentukan cinta sejatinya.

Fantastis, berapa puluh brankas atau loker di meja redaksi Merdekawati penuh dengan transkrip atau paper yang menyimpan “dunia perempuan”. Berbagai gelar para Srikandi ada di sana, mulai dari diploma, sarjana, master, hingga doktor mengirimkan artikel dan/atau kontak jodoh. Ruang-ruang kosong di perkantoran, apartemen, kondominium, hingga lokalisasi sekalipun, senantiasa disejukkan oleh aura kewanitaan yang tidak hanya mengepentingkan pikiran, tapi juga perasaan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Namun, argumen macam apa yang patut dipresentasikan pada jurnal ilmiah, blog atau disertasi tentang hak dan kewajiban perempuan masa kini. Apalagi menyangkut isu gender yang mengultuskan bahwa perempuanlah yang melahirkan cinta. Entah, polemik cinta harus menjadikan eksistensi perempuan seperti Merdekawati suntuk dalam kariernya hingga menyerupai “rumah kaca” dengan gembok baja. Sehingga, pada waktu yang tepat kuncinya harus dibuka sendiri. Yang perlu dicatat, kemerdekaan bukan hanya diperjuangkan oleh pahlawan, tapi andil perempuan juga sangat menentukan peradaban suatu bangsa.Merdeka!(*)

Tidak ada komentar: